ABNnews – Teori kausalitas mengajarkan bahwa “apa yang terjadi hari ini merupakan hasil dari tindakan kita di masa lalu.” Putusan hakim terhadap Tom Lembong tampaknya mengikuti prinsip tersebut. Namun, apakah hasil putusan ini mengejutkan publik? Tidak sepenuhnya. Ketidaksesuaian antara pembelaan, fakta di lapangan, dan putusan memang kerap terjadi.
Dalam kasus ini, tuduhan terhadap Tom Lembong dinilai serupa dengan tuduhan terhadap sejumlah menteri lain terkait impor. Namun, hanya Tom yang akhirnya dibawa ke meja hijau. Pengacaranya, Dr. Ari, menyatakan bahwa “jika putusan ini tetap dipaksakan, maka keadilan sejatinya masih jauh dari harapan.”
Sejalan dengan itu, Todung Mulya Lubis menyebut situasi ini sebagai “Langit Hitam Pemberantasan Korupsi” (Kompas, 22 Juli 2025). Realitasnya, pengadilan kerap dipersepsikan bukan lagi sebagai tempat mencari keadilan, melainkan tempat formal mengadili.
Reformasi 1998 seharusnya menjadi titik balik bagi penegakan hukum. Sayangnya, kesempatan emas tersebut justru terlewatkan. Lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman belum berhasil memenuhi ekspektasi publik.
Munculnya lembaga-lembaga seperti MK, KY, KPK, serta komisi-komisi pengawas (kepolisian, kejaksaan, penyiaran, ombudsman, dll.) sebenarnya mencerminkan upaya untuk memperkuat sistem hukum yang bersih dan kredibel. Namun, sampai kini, harapan akan hukum yang adil masih tampak jauh. “Awan hitam” itu belum juga sirna.
Dalam praktiknya, banyak hakim di Indonesia menggunakan pendekatan legisme, yang menyatakan bahwa hukum tidak bisa dipisahkan dari teks undang-undang. Aliran ini berakar dari pemikiran tokoh-tokoh seperti Austin dan Kelsen. Dalam kerangka ini, aparat penegak hukum—baik polisi, jaksa, maupun hakim—hanya bertugas mencocokkan fakta hukum dengan ketentuan undang-undang.
Namun, pendekatan ini rawan disalahgunakan. Dalam banyak kasus, aparat justru bertindak sebagai corong penguasa. Konsep “judikokrasi” mencuat, di mana lembaga peradilan dipengaruhi kekuasaan eksekutif demi menjatuhkan lawan politik. Hukum akhirnya kehilangan independensinya.
Para pakar hukum tata negara pun menyerukan pentingnya penegakan prinsip trias politica, yaitu pemisahan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hukum tidak boleh menjadi alat politik. Lembaga peradilan harus independen dan terbebas dari intervensi kekuasaan.
Pemikiran progresif mengenai hukum telah lama digaungkan oleh almarhum Prof. Satjipto Rahardjo. Ia mengkritik keras doktrin positivisme hukum, yang dinilai kaku dan tidak mampu menghadirkan keadilan substantif.
Satjipto menyebut pendekatan ini melahirkan “mafia peradilan.” Baginya, hukum seharusnya menjadi alat sosial (social engineering) yang berfungsi untuk melayani manusia, bukan sebaliknya.
Dalam konteks ini, hukum harus adaptif terhadap dinamika masyarakat dan berpihak pada keadilan serta kemanfaatan publik. Jika kita bandingkan dengan kondisi saat ini, tak banyak perubahan berarti. Sistem hukum masih dianggap tunduk pada kepentingan penguasa.
Kondisi hukum Indonesia saat ini bisa dibilang serupa dengan Amerika Serikat pada abad ke-19. Bedanya, para hakim di AS kala itu segera menyadari kebuntuan sistem hukum mereka. Mereka melakukan law restoration dengan cara berani: menyimpang dari doktrin hukum lama dan menyesuaikan putusan berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Langkah ini ditopang oleh hakim-hakim yang visioner dan berjiwa kenegarawanan. Mereka tak hanya berlandaskan teori hukum, tapi juga mengedepankan nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Di sinilah pentingnya integritas dan keberanian hakim sebagai penjaga keadilan.
Filsuf hukum Ronald Dworkin pernah menyatakan bahwa “setiap kali hakim memutus perkara, saat itu ia sedang menafsirkan apa itu hukum.” Artinya, hukum tak semata teks, melainkan praktik interpretasi yang kompleks.
Masyarakat masa kini pun kian kritis—mereka tak lagi menelan bulat putusan hakim, tapi menuntut koherensi, relevansi, dan rasa keadilan dari setiap keputusan.
Kini, pertanyaannya: apakah lembaga peradilan kita benar-benar berpihak pada hukum, atau sekadar menjalankan titah kekuasaan? Selama jawaban atas pertanyaan ini masih menggantung, awan gelap itu akan terus menyelimuti hukum di negeri ini.
Sobirin Malian,
Dosen Magister Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan