ABNnews — Arsjad Rasjid, salah satu tokoh bisnis mengatakan, situasi internasional sedang berubah, yang memberikan dampak secara tidak langsung kepada Indonesia, khususnya di bidang ekonomi. Peristiwa di timur tengah, Trump Effect, perang Ukraine – Rusia, dan lainnya membuat semuanya bergerak ke arah perubahan. China saja sebagai negara yang pertumbuhan ekonominya kemarin terus naik, saat ini sedang cenderung turun.
Menurut komisaris dan mantan Presiden Diretur Indika Energy ini, fokus saat ini yang harus diperhatikan serius bukan hanya soal economic growth yang hanya 4,7 persenan, tapi adalah daya beli masyarakat yang terus menurun. Masyarakat bisa dikatakan tidak punya uang saat ini. Karena itu daya beli turun,” kata Arsjad Rasjid.
Arsjad mengemukakan itu pada Meet The Leaders,”DRIVING INCLUSIVE GROWTH: INNOVATION, INDUSTRIALIZATION AND ENERGY FOR JOB CREATION’’, di Universitas Paramadina, akhir pekan ini.
Pada kesempatan ini Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D memberikan sambutan dan Wijayanto Samirin, MPP sebagai host program.
Pengangguran
Arsjad menyebutkan, tantangan serius lain adalah jumlah pengangguran yang naik menjadi 7,28 juta orang. Tingkat pengangguran terbuka memang turun 4,7 % tetapi jumlah pengangguran justru naik menjadi lebih dari 7,28 juta orang.
“Yang lebih memprihatinkan lagi adalah fakta bahwa hampir 60% angkatan kerja kita masih berada di sektor informal. Menjadi pertanyaan besar kemudian, apakah lapangan kerja mencukupi untuk memperbaiki keadaan,” paparnya.
Cara pandangnya simpel saja, saat ini di Indonesia hanya ada dua sumber pendapatan masyarakat : Pedagang yang mendapat laba dari usahanya, dan kedua, Pekerja yang mendapat upah, bonus, dan lain-lain. Jika dua sumber itu tidak lagi ada, maka growth economy tidak akan ada lagi, pasti menurun tajam.
“Jadi jelas, yang lebih urgent dalam menjadi tantangan saat ini adalah Lapangan Pekerjaan, dan pengangguran.”
Dia mengatakan, untuk melihat data lapangan kerja hanya pada dua sumber data yakni: Investasi, yang dapat menciptakan lapangan kerja. Namun itupun penuh tantangan. Sumber investasi yang masuk lebih pada capital intensive daripada labour intensive.
Untuk menciptakan investasi, baik investasi kecil ataupun besar, lanjutnya, tantangannya banyak sekali. Mulai dari soal tanah, preman, permitt, izin-izin dan segala macam persoalan.
Dari persoalan lapangan kerja, beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan terjadinya migrasi yang cukup signifikan dari para tenaga terampil Indonesia ke luar negeri. Mulai dari perawat, ahli IT sampai insinyur.
Pastinya mereka bukan tidak cinta negara ini, tapi di luarnegeri upah yang diterima bisa 5-8 kali lebih besar dari jumlah upah di dalam negeri. Career path dan akses ke jaminan sosial yang lebih baik.
“Kabur Aja Dulu”
Arsjad menyatakan, ’’Kabur Dulu Aja’’ itu adalah fakta, karena memang jumlah lapangan pekerjaan di dalam negeri yang sangat kurang. Hal itulah yang kini menjadi pertanyaan apa yang akan dilakukan dengan realitas yang ada seperti sekarang.
Bonus demografi Indonesia yang digadang-gadang menyediakan jumlah tenaga kerja produktif sampai 70% akan menjadi malapetaka jika tidak diperhatikan serius. Di mana tenaga produktivitas banyak, tapi lapangan pekerjaan tidak ada. Itulah PR utama Indonesia sekarang.
Untuk mengatasi hal di atas, kata Arsjad, kiranya pendekatan 3G sebagai Pilar Utama dalam strategi terstruktur untuk pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan, perlu dicobakan. 3G yakni : Grow People, Gear Up Industry dan Go Green.
Grow People diartikan sebagai membangun manusia Indonesia sebagai talenta global – bukan hanya untuk bekerja, tapi juga untuk memimpin dan berinovasi. Hari ini hanya 10% lulusan S1, selebihnya adalah lulusan SMA-SMK dan SMP dan SD. Kebanyakan angkatan kerja kita malah lulusan SMP dan SD saja. IQ Indonesia juga saat ini diketahui turun.
Gear Up Industri adalah mendorong reindustrialisasi berbasis nilai tambah dan pemerataan sebagai motor pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Langkah Strategisnya adalah dengan Hilirisasi mineral dan manufaktur strategis, Reindustrialisasi (dengan nilai tambah hingga USD 25 miliar ke PDB), dan Perluas industri ke luar Jawa, dengan melibatkan UMKM.
“Go Green adalah Menjadikan transisi energi sebagai peluang pertumbuhan ekonomi baru. Langkah Strategis yang dilakukan dengan Re-skilling pekerja sektor tinggi emisi, mendorong pembiayaan hijau untuk UMKM, dan melibatkan masyarakat lokal dalam proyek transisi energy,” ujar Arsjad.
Bagus Iswanto