ABNnews — Penetapan tersangka pengusaha minyak M. Riza Chalid oleh Kejaksaan Agung dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dinilai sebagai bentuk keseriusan pemerintahan Presiden Prabowo dalam menegakkan hukum.
Pandangan tersebut disampaikan pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansah. Menurut dia seperti dilansir antaranews, di bawah pemerintahan Prabowo, hukum tidak lagi tunduk pada oligarki.
“Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, hukum tidak lagi tunduk pada oligarki atau ketakutan terhadap nama besar. No more untouchables (tidak ada lagi yang tak tersentuh). Ini adalah momen penting yang menandai transisi serius dalam paradigma penegakan hukum di Indonesia,” kata Trubus dalam keterangannya.
Trubus menganalisis perkembangan perkara rasuah ini dari kacamata teori jendela kebijakan yang dikembangkan John W. Kingdon. Kebijakan publik lahir dan bisa dieksekusi efektif jika tiga aliran bertemu pada satu momentum tertentu, yakni masalah, kebijakan, dan politik.
Menurut dia, masalah dalam perkara ini ialah buruknya tata kelola minyak dan gas bumi serta dugaan keterlibatan aktor besar, aliran kebijakannya reformasi hukum dan penguatan penegakan, sementara aliran politiknya kehadiran figur kepala negara yang memiliki keberanian politik tinggi.
Ia menyebut penetapan tersangka terhadap pengusaha kondang Riza Chalid membuka mata publik mengenai strategi Presiden Prabowo dalam keberpihakan pemerintah terhadap pemberantasan korupsi yang terjadi di sektor-sektor yang terkait kepentingan publik.
“Prabowo menyadari keberadaan aktor-aktor tertentu yang nyaris untouchables (tak tersentuh) oleh hukum pada akhirnya akan merusak sendi sendi perekonomian publik, sehingga para koruptor kelas kakap harus diperkarakan untuk memberi efek psikologis jangka panjang,” katanya.
Bagi Trubus, penegakan hukum terhadap Riza Chalid bukan hanya tentang sosok, melainkan juga tentang simbol. Pasalnya, Riza Chalid yang selama beberapa tahun terakhir disebut-sebut dalam berbagai isu dan terkesan tidak tersentuh hukum, kini akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
“Ia (Riza Chalid) seperti kebal hukum. Dalam istilah teori kebijakan publik, hal ini mencerminkan policy inertia, yaitu kondisi di mana status quo dipertahankan karena tekanan aktor kuat dan lemahnya insentif perubahan. Namun, era Prabowo menginterupsi stagnasi itu,” kata dia.
Langkah ini dinilai Trubus sebagai upaya reformasi hukum oleh kepala negara. “Dalam konteks teori governance ala Kooiman, tindakan tegas terhadap aktor kuat seperti Riza mencerminkan transisi dari closed governance yang dikendalikan oleh elite terpilih menuju open and responsive governance yang berpihak pada akuntabilitas dan kepentingan publik,” ucapnya.
Di sisi lain, Trubus memandang adanya pendekatan kebijakan publik yang berorientasi pada hasil, bukan hanya proses, dalam perkara ini. Sebab, Kejagung tidak sebatas bertindak secara prosedural atau menunggu tekanan publik, tetapi juga bertindak strategis berbasis data dan audit.
Maka dari itu, dia mengapresiasi langkah Kejagung sebagai bagian dari strategi pengaturan ulang kelembagaan (institutional reset). Ia menilai penetapan tersangka Riza Chalid oleh Kejagung mencerminkan bahwa elite mulai dihadapkan pada risiko hukum yang nyata.
“Saya optimistis langkah ini bukan yang terakhir. Prabowo telah membuka jalan menuju penegakan hukum yang tak pandang bulu. Penetapan Riza Chalid sebagai tersangka membuktikan bahwa era kekebalan hukum telah selesai dan di sinilah titik balik itu terjadi: ketika hukum berdiri tegak, dan negara akhirnya berani bicara jujur pada dirinya sendiri,” katanya.
Diketahui, Kejagung pada Kamis (10/07) malam menetapkan pengusaha M. Riza Chalid (MRC) bersama delapan orang lainnya sebagai tersangka baru dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018–2023.