banner 728x250

Prof Iin Mayasari: Modernisasi Koperasi Perlu Didukung, Koperasi Harus Jadi Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Rakyat

Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerjasama Universitas Paramadina, Prof. Dr. Iin Mayasari

ABNNews – Wakil Rektor Bidang Mutu dan Kerjasama Universitas Paramadina, Prof. Dr. Iin Mayasari, mengatakan, nilai-nilai koperasi sangat sejalan dengan nilai-nilai Keparamadinaan yang dijunjung tinggi kampus, yakni Keindonesiaan,Keislaman, dan Kemodernan.

“Koperasi memiliki semangat gotong royong, empati, dan kolaborasi, yang menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas bangsa kita. Inilah mengapa penting bagi institusi akademik seperti Paramadina untuk turut menyuarakan pandangan yang konstruktif terkait inisiatif Koperasi Merah Putih” ungkap Prof. Iin.

Prof. Iin mengemukakan hal tersebut pada diskusi publik bertajuk “Koperasi Merah Putih: Menghadapi Realita, Meretas Solusi” yang
secara daring melalui Zoom Meeting pada Jumat (11/7/2025) .

Diskusi publik dalam rangka menyambut Hari Koperasi Nasional yang diperingati setiap tanggal 12 Juli ini dimoderatori Didip Diandra, MBA., dosen Universitas Paramadina.

Lebih lanjut, Prof Iin menyampaikan bahwa upaya modernisasi koperasi harus didukung, namun tetap memperhatikan kualitas sumber daya manusia, akuntabilitas kelembagaan, dan manajemen risiko. Pemerintah perlu menjamin bahwa koperasi tidak sekadar menjadi formalitas administratif, melainkan benar-benar menjadi instrumen pemberdayaan ekonomi rakyat.

Bukan Dikendalikan

Wakil Rektor Bidang Pengelolaan Sumber Daya Universitas Paramadina, Dr. Handi Risza Idris, memberikan perspektif kritis terhadap target pembentukan 80.000 KMP. Menurutnya, koperasi memang merupakan amanat konstitusi, sebagaimana termaktub dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun, pelaksanaannya harus tetap menjunjung prinsip kemandirian dan asas kekeluargaan, bukan dikendalikan dari atas.

“Jangan sampai koperasi hanya menjadi instrumen politis atau proyek sentralistik pemerintah pusat, seperti yang pernah terjadi pada KUD masa lalu. Terlebih, sumber pendanaan KMP berasal dari dana desa dan APBDes. Jika tidak dikelola dengan prinsip good governance, program ini berpotensi menjadi beban baru, bukan solusi” tegas Handi.

Dr. Handi juga menyoroti ketidakhadiran regulasi turunan yang komprehensif sebagai landasan hukum KMP, terutama mengingat dasar hukum yang digunakan adalah Surat Edaran Menteri Koperasi dan UKM No.1 Tahun 2025 yang masih dirasa lemah dari sisi legalitas dan operasionalisasi.

Suroto, S.E., Direktur Cooperative Research Center (CRC) Institut Teknologi Keling Kumang sekaligus Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) dan Mahasiswa Pascasarjana Universitas Paramadina, menyampaikan kritik tajam terhadap pembentukan Koperasi Merah Putih (KMP) yang dinilai mengejutkan dan kontroversial.

Menurut Suroto, keberadaan KMP tidak pernah tercantum dalam visi-misi Presiden Prabowo saat mencalonkan diri pada Pemilu 2024. “Penerbitan Instruksi Presiden (Inpres) dan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9/2025 yang mengatur pendirian KMP secara top-down menimbulkan kebingungan hukum dan patut dipertanyakan dasar legalitasnya” ujar Suroto.

Ia menambahkan bahwa hal tersebut bertentangan dengan UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menekankan prinsip kemandirian dan otonomi koperasi sebagai organisasi milik masyarakat. Menurutnya, koperasi bukanlah instrumen negara melainkan sistem ekonomi alternatif yang lahir dari kegagalan negara dan pasar dalam mendistribusikan kesejahteraan.

“Pembentukan KMP melalui pendekatan koersif negara justru mencederai semangat demokrasi dan merusak esensi koperasi itu sendiri” tegasnya.

Berdasarkan pengumpulan data lapangan dengan teknik random sampling, sebagian besar pengurus KMP yang baru terbentuk tidak memahami peran dan tanggung jawab mereka. “Banyak dari mereka bahkan mengira bahwa dengan menjadi pengurus KMP, mereka otomatis akan menerima gaji dari pemerintah” jelasnya.

Suroto juga menyayangkan bahwa kebijakan ini justru bertolak belakang dengan semangat International Year of Cooperatives 2025 yang dicanangkan PBB.

“Ironis, ketika dunia mendorong koperasi sebagai entitas mandiri dan demokratis, kita justru kembali ke model kolonial British-Indian Pattern: rakyat dianggap tidak mampu, negara yang turun tangan” tambahnya.

Ambisius

Dosen Universitas Paramadina, Muhammad Iksan, MM., memberikan tinjauan dari sisi makroekonomi dan indikator ekonomi nasional. Ia menyampaikan bahwa pembentukan KMP terjadi di tengah kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian—pertumbuhan PDB melemah, inflasi meningkat, dan nilai tukar rupiah fluktuatif.

“Target 80.000 koperasi memang ambisius. Hingga Juni 2025 sudah ada lebih dari 72.600 koperasi yang terbentuk. Secara legalitas memang lebih baik dari tahun sebelumnya, namun tantangan tetap ada, mulai dari menurunnya koperasi simpan pinjam, lemahnya tata kelola hingga rendahnya inklusi koperasi,” jelas Iksan.

Ia menekankan pentingnya pendekatan bottom-up dalam pembangunan koperasi agar tidak mengulang kegagalan program-program berbasis dana desa sebelumnya. Menurutnya, lebih baik proses sedikit terlambat tetapi terukur dan akuntabel daripada terburu-buru namun merugikan rakyat.

Didip Diandra, MBA., sebagai moderator melihat bahwa kehadiran Koperasi Merah Putih adalah momentum penting untuk merefleksikan ulang arah kebijakan koperasi di Indonesia. Ia menegaskan perlunya pengawalan dari dunia akademik agar kebijakan ini tidak menyimpang dari prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan kemandirian rakyat.

“Koperasi seharusnya bukan alat politik atau proyek jangka pendek, melainkan wadah pemberdayaan ekonomi yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat” tegas Didip. Bagus Iswanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *