Catatan Cak AT
Mari kita mulai dengan takbir. Allahu Akbar! Bukan karena ada serangan, bukan karena adzan, tapi karena di hari Jumat yang mulia ini —1 Muharam 1447 H— sebuah kabar baik mampir dari jantung kapitalisme dunia: New York City.
Ya, kota yang lebih dikenal sebagai kampung halaman _Spider-Man_ dan tempat ngopi-nya _Central Perk Friends_ itu, sebentar lagi bisa punya wali kota Muslim. Dan bukan sembarang Muslim: Zohran Mamdani, anak muda 33 tahun keturunan India-Uganda yang lebih suka bicara tentang Gaza daripada Gala Dinner.
Sungguh, ini bukan cerita fiksi politik dari Netflix. Ini nyata. Sebuah keajaiban politik yang lebih sulit dicerna daripada sambal roa dicampur oatmilk.
Bayangkan, seorang Muslim, progresif, penyair sosialisme, dan musuh bebuyutan Benyamin Netanyahu, berhasil mengalahkan Andrew Cuomo —mantan gubernur sekaligus bekas tokoh yang dulu sempat dielu-elukan seperti pahlawan Marvel, sampai akhirnya kariernya dikaramkan skandal seks dan gelombang #MeToo.
Zohran pendukung BDS, singkatan dari _Boycott, Divestment, and Sanctions_ — sebuah gerakan internasional non-kekerasan yang dimulai oleh masyarakat sipil Palestina pada tahun 2005. Tujuannya, menekan Israel agar mematuhi hukum internasional dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam perlakuannya terhadap rakyat Palestina.
Berbekal kejujuran dan hati nurani, Zohran berlaga. Jika pemilu diibaratkan laga tinju, maka hasilnya seperti ini: Cuomo masuk ring dengan jubah mantan gubernur dan dukungan miliuner, Zohran cuma bawa mikrofon, idealisme, dan 22 ribu relawan yang lebih militan dari fans K-pop.
Dan yang bikin lebih dramatis: ini terjadi di New York, tempat di mana kata “komunis” biasanya cukup untuk membuat seseorang dibakar dalam opini publik. Tapi Zohran justru menyiram bensin ke api itu dengan berkata, “Saya akan menang bukan karena saya menyesuaikan diri, tapi karena saya jujur.”
Hasilnya? Boom. Zohran menang dalam sistem _ranked-choice voting_ —sistem yang bahkan lebih membingungkan dari aturan tilang elektronik.
Dan yang bikin kaget: Cuomo sendiri mengakui kekalahannya sebelum hasil akhir diumumkan. Ini seperti Ronaldo bilang, “Saya kalah penalti, tapi anak muda itu mainnya ciamik.”
Di tengah euforia kemenangan Zohran, tentu saja tidak semua pihak bersorak gembira. Di Gedung Putih, Donald Trump langung ngamuk. Mungkin masih trauma karena kalah di 2024 (dan 2020, dan 2018, dan realita), dia seketika meledak di Truth Social.
Menurutnya, Zohran adalah “komunis gila 100%” dan merupakan ancaman paling nyata bagi demokrasi. Bahkan ia menyebut Zohran didukung oleh “AOC+3” —sebuah formula matematika dari semesta alternatif tempat Trump percaya ia adalah Albert Einstein versi oranye.
Trump, seperti biasa, juga sempat menyinggung suara Zohran yang “mengganggu” dan otaknya yang “nggak terlalu cemerlang”. Ini sebuah kritik tajam dari seseorang yang menyebut pemanas microwave sebagai “teknologi gelombang 5G berbahaya”.
Tuduhan Trump bersambut. Dari pojok kanan jauh spektrum politik, _The New York Young Republican Club_ (NYYRC) mengeluarkan seruan yang terdengar seperti naskah film era McCarthy: mencabut kewarganegaraan Zohran dan mendeportasinya.
Mereka mengutip _Communist Control Act_ tahun 1954 —sebuah undang-undang peninggalan masa Perang Dingin yang sudah lama berdebu di rak hukum Amerika— dan meminta Presiden Trump untuk “bertindak sekarang.” Alasannya, Zohran itu komunis.
Seolah-olah Zohran bukan kandidat sah hasil pemilu demokratis, tapi penyusup komunis yang menyaru lewat pemilu. Seruan ini, yang viral di platform X (sebelumnya Twitter), dengan cepat dibumbui nama-nama beken di lingkaran Trump: Stephen Miller dan Thomas Homan, dua tokoh yang dikenal lebih galak dari Satpol PP saat razia PKL.
Sungguh, ini bukan lagi debat politik —ini sudah masuk wilayah delusi historis. Kalau seseorang bisa dideportasi hanya karena mendukung bus gratis dan hak warga Palestina, maka tak heran bila suatu hari nanti buku catatan Nelson Mandela juga dianggap dokumen subversif.
Tapi mari tinggalkan Trump dan kembali ke Zohran, dengan bertanya, apa yang membuatnya menang?
Sederhana: ia tidak takut menyuarakan hal-hal yang tidak populer, tapi benar. Di tengah kegaduhan politik tentang Israel-Gaza, dia bilang terang-terangan: “Israel sedang melakukan genosida.” Kalimat yang cukup untuk membuat karier politisi mana pun tamat —kecuali jika politisi itu jujur dan berdiri di atas kaki prinsip.
Tapi bukan cuma soal Palestina. Zohran ingin membuat seluruh bus kota New York gratis. Dia juga ingin bikin supermarket milik pemerintah yang jual makanan sehat dan murah —surga bagi mahasiswa kere dan ibu-ibu beranak lima.
Bahkan dia usul pajak orang kaya dinaikkan untuk mendanai semua program ini. Sebuah pemikiran revolusioner yang dalam bahasa Wall Street disebut “blasphemy.”
Yang membuat para pengamat geleng-geleng —dan kaum elite bisnis megap-megap— adalah keberanian Zohran untuk merumuskan ulang konsep dasar “layak huni” di kota sebesar New York.
Di tengah gelombang penggusuran halus (alias gentrifikasi dengan parfum vanilla), ia justru mengedepankan ide yang dianggap “radikal” hanya karena terlalu masuk akal: membekukan kenaikan sewa dan membangun 200.000 unit rumah publik baru.
Bagi sebagian konglomerat properti, ini terdengar seperti larangan mencetak uang. Namun bagi lebih dari dua juta penyewa yang tercekik oleh inflasi, ini adalah napas hidup. Seperti kata para ekonom pendukungnya, kebijakan semacam ini bukan sekadar populis, tapi rasional secara fiskal dan sosial.
Sementara proposal bus gratis bukan hanya bentuk kemurahan hati ideologis, tetapi juga bukti bahwa pemerintah kota bisa —dan seharusnya— berfungsi layaknya urat nadi publik, bukan terminal bisnis.
Data menunjukkan bahwa ketika ongkos dihapus, kekerasan turun, partisipasi publik naik, dan dompet rakyat kecil bisa bernapas. Di mana letak komunismenya, kalau solusi ini justru menyelamatkan kota dari keruntuhan sosial-ekonomi?
Tapi siapakah gerangan Zohran Mamdani, si anak Kampala yang kini menginjak panggung sejarah New York?
Ia bukan cucu konglomerat atau alumni Yale Law School. Dia anak dosen dan sutradara.
Dia kuliah di Bowdoin, kerja jadi konselor perumahan bagi keluarga miskin, dan menikahi seniman keturunan Suriah yang lebih tertarik pada keramik dan ilustrasi daripada kekuasaan dan investasi.
Ini bukan kisah “American Dream”. Ini lebih cocok disebut Hijrah Politik—dari perbatasan minoritas menuju pusat kekuasaan kota global.
Lantas, apa pelajaran bagi kita di 1 Muharam ini? Pertama, bahwa politik bukan cuma milik orang tua berjas mahal dan lidah berlapis retorika. Politik bisa jadi milik anak muda Muslim dengan prinsip.
Kedua, bahwa kemenangan bukan selalu tentang suara mayoritas, tapi tentang suara nurani.
Ketiga, bahwa menjadi Muslim, mencintai keadilan, dan berani bicara benar bukan penghalang sukses —bahkan di tempat yang katanya paling liberal, tapi juga paling paranoid soal Islam.
Di hari Jumat dan tahun baru Hijriah ini, mari kita buka harapan baru: semoga Zohran Mamdani menang di Pilkada November nanti. Bukan sekadar untuk membanggakan ummat, tapi untuk menunjukkan bahwa politik bisa dibersihkan dari polusi korupsi dan hipokrisi.
Dan kalaupun Trump tetap marah-marah, ya biarkan saja. Toh, sudah banyak riset ilmiah menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi bisa dipicu oleh terlalu sering membaca Truth Social.
Selamat Tahun Baru Hijriyah 1447. Selamat untuk Zohran. Dan selamat untuk kita semua —yang masih percaya bahwa dunia bisa berubah, satu pemilu, satu suara, dan satu orang jujur pada satu waktu.
Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 27/6/2025