banner 728x250
Opini  

Kamar Strategi Trump

Catatan Cak AT

Akhirnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan untuk menyerang Iran. Target utamanya: menghancurkan pusat-pusat nuklir negeri para mullah itu yang tersebar di tiga titik. Dengan gaya khas mulut monyongnya, ia mengabarkan kepada Benjamin Netanyahu bahwa nuklir Iran sudah berhasil “dilenyapkan.”

Namun Presiden Iran buru-buru mengklarifikasi: yang dihancurkan Amerika hanyalah bangunan di permukaan tanah —atau maksimal hingga kedalaman 60 meter, batas puncak daya tembus bom 13 ton milik Amerika. Padahal, fasilitas nuklir Iran sesungguhnya terletak jauh di kedalaman 160 meter. Dan semuanya… sudah dipindahkan.

Tapi mungkin justru di situlah letak klimaks kenikmatan Netanyahu —semacam orgasme strategis tanpa penetrasi, sekadar puncak onani geopolitik. Sementara Trump tampil seolah maestro orkestra politik, namun simfoni kebijakan luar negerinya terdengar seperti konser jalanan dadakan: kadang sumbang, kadang menggelegar, kadang sekadar suara ledakan.

Pertanyaannya kini bukan lagi, “Apa kebijakan Trump soal perang Israel-Iran?” melainkan: “Siapa yang terakhir bicara dengannya sebelum ia menekan tombol serangan?” Gedung Putih versi Trump 2.0 kini lebih mirip studio podcast —presiden duduk di tengah, dikelilingi para bintang tamu dari segala kalangan.

Dulu, di era Trump 1.0, kabinetnya dipenuhi para hawks —elang-elang neokonservatif seperti John Bolton yang ingin mengubah Iran menjadi taman parkir McDonald’s. Kini, kabinet Trump 2.0 lebih mirip akuarium bunglon: warnanya menyesuaikan dengan mood tuannya.

Contohnya? JD Vance, sang Wakil Presiden, lebih suka “America First” tanpa perlu “War First.” Ia bahkan mengeluh bahwa membom Houthi tidak sesuai dengan _branding global disengagement_ ala Trump. Belum jelas apakah Vance belajar geopolitik dari Harvard atau dari _Call of Duty: Campaign Mode._

Ada juga Tulsi Gabbard, Kepala Intelijen Nasional, yang menyatakan bahwa Iran “tidak sedang membangun senjata nuklir.” Narasi itu membuat para elang di Pentagon tersedak kopi —termasuk Trump sendiri, yang kemudian menyangkal temuan intelijennya sendiri.

Belum lagi Pete Hegseth, Menteri Pertahanan sekaligus eks penyiar Fox News. Figur langka: _talking head_ yang kini bisa mengirim drone sungguhan.

Lalu ada Steve Witkoff, utusan khusus Timur Tengah —dulu lebih sering mengurus properti mewah ketimbang negosiasi nuklir, kini rajin menyebutkan “normalisasi dengan Teheran” seolah sedang bicara soal _rebranding_ hotel.

Dan tentu, Marco Rubio, Menteri Luar Negeri sekaligus Penasihat Keamanan Nasional. Mantan senator neokon itu kini piawai memainkan dua peran: satu topi bertuliskan “Hard on Iran,” satu lagi “Loyal to Trump.”

Seperti dikatakan Brian Katulis dari Middle East Institute, Trump kini hanya dikelilingi oleh “bunglon loyal.” Jangan harap ada perlawanan seperti era James Mattis. Kualifikasi utama masuk kabinet kini hanya tiga: 1) Punya ponsel, 2) Mau bicara manis di depan kamera, dan 3) Bersedia memuji presiden setiap 12 jam sekali.

Lantas, siapa sebenarnya yang didengar Trump? Inilah bagian paling absurd sekaligus paling Trumpian dari semuanya. Pengambil keputusan akhir bukan kabinet, bukan jenderal, bukan diplomat. Melainkan:

Tucker Carlson, mantan host Fox News yang kini menjelma jadi penasihat luar negeri semi-formal via Twitter. Ia menyerukan, “Israel harus urus perangnya sendiri.” Suaranya seirama dengan bosnya —Trump yang sempat ingin “menunggu dua minggu” sebelum memutuskan menyerang.

Mark Levin, komentator konservatif senior yang mengusulkan agar Israel “menyelesaikan pekerjaan” dengan mengganti rezim Iran. Ia bahkan sempat makan siang privat dengan Trump beberapa hari sebelum keputusan diambil. Tidak jelas apakah menu makan siangnya dipengaruhi konflik di Timur Tengah.

Dan tentu saja, Netanyahu. PM Israel ini punya hotline langsung ke telinga Trump. Kata para analis, siapa pun pemimpin dunia yang terakhir berbicara dengan Trump akan dapat policy discount dan perhatian utama. Netanyahu kabarnya bicara lima menit setelah Gabbard, yang membuat rudal Amerika langsung terbang.

Trump kini terjebak antara dua faksi di basis pendukungnya. Pertama, mereka yang meneriakkan “America First! No more foreign wars!” Kedua, mereka yang meneriakkan “Smash Iran! Protect Israel!” sambil memegang Alkitab dan remote TV kabel.

Padahal, para pemilih MAGA akar rumput sudah lelah dengan perang. Mereka ingin tembok, bukan tank. Tapi para donor dan elit neokonservatif ingin aksi —apalagi kalau bisa sekalian menjual sistem pertahanan ke negara sekutu.

Walhasil, jika dulu negara adidaya menentukan perang lewat dewan keamanan dan laporan intelijen, kini cukup buka Signal dan lihat obrolan: “Guys, bom Iran bagus nggak ya? Vote yes or no.”

Trump adalah presiden yang bisa melawan insting hawkish-nya —tapi syaratnya, jika hari itu ia sempat nonton acara TV yang benar, atau jika ada penasihat yang membisikkan kata “polling approval” sebelum briefing.

Kebijakan luar negeri Amerika, dalam soal perang Israel-Iran, bukan ditulis dengan pena emas di Ruang Oval, melainkan dengan emoji di tengah pertengkaran Zoom call antara elit GOP, mantan host TV, dan sisa-sisa sultan minyak digital.

Dan dunia menunggu dengan napas tertahan, atau menyalakan VPN untuk mencari tahu, siapa lagi yang baru saja makan siang dengan Trump hari ini. Karena di dunia Trump, yang penting bukan apa yang dikatakan —tapi siapa yang mengatakannya, dan seberapa keras dia menyukai dirinya di Truth Social.

Dalam ekosistem politik yang makin menyerupai reality show ini, keputusan strategis setara dengan hasil polling dadakan di dunia maya, bukan dari hasil telaah Dewan Keamanan Nasional. Satu klik, satu emoji, satu retweet dari tokoh konservatif kesayangan bisa mengubah arah rudal —atau membatalkan perang.

Trump bukan presiden konvensional. Ia adalah algoritma populisme yang berjalan dengan logika rating dan impresi. Maka, selama Netanyahu bisa menjadi “konten yang viral,” dan para penasihatnya tetap jadi “influencer geopolitik,” maka bom bisa meledak, atau batal meledak, tergantung trending topic pagi itu.

Dan jika kelak kita bertanya, “Kenapa Amerika memutuskan menyerang Iran hari itu?” jawabannya mungkin sesederhana: “Karena ada yang makan siang dan ngobrol ringan dengan Trump —lalu mempostingnya di Truth Social, dan Trump nge-like.”

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 23/6/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *