banner 728x250

Korupsi dan Pencucian Uang Marak: Jangan Biarkan Hukum Jadi Alat Represi

ABNNews— Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (IKA UII) menyelenggarakan Webinar Nasional bertajuk “Urgensi Pengesahan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset”, sebagai bentuk kontribusi intelektual terhadap arah reformasi hukum di Indonesia.

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber kunci: pakar hukum pidana UII Dr. Mudzakir, S.H., M.H., anggota Komisi III DPR RI Dr. H. M. Nasir Djamil, M.Si, dan Deputi PPATK Bidang Pelaporan dan Pengawasan Kepatuhan Dr. Fithriadi Muslim, S.H., M.H. Acara dibuka oleh Ketua Umum IKA UII, Dr. Ari Yusuf Amir, S.H., M.H.

Dalam sambutannya, Ari menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset merupakan agenda hukum yang tidak dapat dipisahkan dari urgensi memberantas kejahatan ekonomi yang kian sistemik.

“Maraknya korupsi dan pencucian uang tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga memperdalam kesenjangan sosial, merusak fondasi moral publik, dan menggerus legitimasi hukum di mata rakyat,” ujarnya.

Ia mengutip data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menunjukkan bahwa pengembalian kerugian negara dari tindak pidana korupsi hanya mencapai 2,2 persen, menandakan lemahnya mekanisme pemulihan aset dalam sistem hukum yang ada saat ini.

Due Process of Law

Dr. Mudzakir dalam paparannya menekankan bahwa RUU ini memperkenalkan pendekatan non-conviction based asset forfeiture—perampasan aset tanpa menunggu putusan pidana terhadap pelaku.

“Negara dapat mengambil alih aset hasil tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht, meskipun pelaku belum dijatuhi hukuman,” jelasnya.

Namun ia mengingatkan bahwa pelaksanaan kebijakan ini harus tunduk pada prinsip due process of law, dilakukan secara profesional, serta diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan.

Dari sisi parlemen, Dr. Nasir Djamil menyampaikan bahwa RUU ini belum masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025, namun terdaftar dalam Prolegnas jangka menengah.

Ia menegaskan pentingnya integritas aparat penegak hukum agar RUU ini tidak menjadi alat represif yang bisa diarahkan ke pihak-pihak tertentu. “RUU ini masih bisa dipercepat melalui revisi Prolegnas, tetapi memerlukan tekanan publik dan komitmen politik yang kuat,” ujarnya.

Dr. Fithriadi Muslim dari PPATK menjelaskan bahwa lembaganya merupakan inisiator penyusunan RUU ini sejak 2022. Pada awal 2023, Menkumham telah menyampaikan draf RUU beserta Naskah Akademik kepada Presiden, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Menteri Sekretaris Negara melalui koordinasi dengan enam pimpinan kementerian dan lembaga strategis. “Secara teknokratik dan administratif, RUU ini siap. Yang tertinggal adalah keberanian politik untuk membawanya ke pembahasan prioritas,” ujar Fithriadi.

Webinar ini berkembang menjadi ruang refleksi kritis yang tidak hanya membahas perlunya RUU tersebut, tetapi juga membedah bagaimana rancangan ini disusun, siapa yang mengawasi, dan untuk siapa hukum ini seharusnya bekerja. Sejumlah pertanyaan strategis mencuat dalam diskusi:

Pertama, apakah negara siap dengan kelembagaan yang independen dan kapabel untuk menegakkan RUU ini secara adil dan tidak tebang pilih? Kedua, bagaimana memastikan agar hukum ini tidak digunakan sebagai alat politik untuk mengkriminalisasi oposisi atau kelompok kritis terhadap kekuasaan?

Ketiga, sejauh mana partisipasi masyarakat sipil dilibatkan dalam proses penyusunan dan pengawasan agar RUU ini betul-betul menjadi alat perlindungan bagi kepentingan publik, bukan sekadar alat pemulihan fiskal negara?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut memperlihatkan bahwa RUU Perampasan Aset bukan sekadar produk hukum, tetapi instrumen politik hukum yang menyentuh relasi kuasa antara negara dan warganya. Karena itu, diperlukan jaminan bahwa proses legislasi ini berjalan secara terbuka, akuntabel, dan berpihak pada prinsip keadilan substantif.

RUU Perampasan Aset berpotensi menjadi langkah korektif terhadap tumpulnya hukum dalam menindak kejahatan ekonomi. Namun jika disusun dan ditegakkan tanpa transparansi, partisipasi publik, dan mekanisme pengawasan yang kuat, ia justru dapat menjadi alat represi baru dalam rezim legal formal. IKA UII menegaskan bahwa hukum tidak boleh menjadi senjata kekuasaan, tetapi harus menjadi penjamin keadilan.

Oleh karena itu, IKA UII menyerukan kepada semua pihak—parlemen, pemerintah, akademisi, jurnalis, dan masyarakat sipil—untuk tidak hanya mendorong pengesahan RUU ini, tetapi juga mengawalnya secara kritis agar tidak menyimpang dari tujuan utama: mengembalikan hak publik, menjaga moralitas negara hukum, dan memastikan bahwa hukum bekerja untuk rakyat, bukan sebaliknya.

IKA UII berkomitmen untuk terus hadir dalam forum-forum edukatif, advokasi kebijakan, dan pengawalan legislasi demi memastikan arah politik hukum Indonesia tetap setia pada nilai-nilai konstitusi dan keadilan sosial.

Bagus Iswanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *