ABNnews – La tahzan innallaha ma’ana (Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.) “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman” (QS. Ali Imron: 139).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersadaاُ “Tetesan air mata dan sedihnya hati, dan tidaklah kukatakan selain yang Allah ridhoi”
Rasa sedih atau kesedihan merupakan bagian alami dari kehidupan manusia. Islam tidak melarang sedih, tetapi menekankan pentingnya bersikap sabar, tawakal, dan mendekatkan diri kepada Allah ketika merasakan sedih.
Sedih karena kehilangan, duka cita, atau karena dosa diperbolehkan dalam Islam, asalkan tidak berlarut-larut dan tidak melupakan kewajiban ibadah kepada Allah. Kesedihan itu ujian dan cobaan dari Allah SWT. Ujian ini dapat menguji kesabaran, keimanan, dan ketakwaan seseorang.
Itulah sebabnya kita tidak boleh merasa sedih yang berlebihan, berlarut-larut, apalagi menyebabkan seseorang melupakan kewajibannya kepada Allah, serta menyebabkan perilaku negatif seperti putus asa. Hal ini tidak diperbolehkan.
Dilansir dari rumaysho.com, mengatasi rasa sedih harus sabar, tawakal: Bersabar dalam menghadapi cobaan dan tawakal kepada Allah SWT, yaitu menyerahkan segala urusan kepada-Nya.
Kemudian selalu mengingat Allah: Berdzikir dan berdoa kepada Allah SWT untuk memohon pertolongan dan ketenangan hati. Tentu saja
Ikhlas dalam segala tindakan dan tidak merasa takut atau ragu dengan rencana Allah SWT.
Selain itu mencari hikmah di balik setiap cobaan dan ujian yang dialami, karena setiap hal yang terjadi memiliki tujuan tertentu dari Allah SWT. Membaca dan merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung pesan tentang kesabaran, ketenangan, dan harapan.
Sedih tidaklah bisa mendatangkan manfaat, tidak pula menolak bahaya. Jadi, kadang sedih itu tidak bermanfaat. Sesuatu yang tidak bermanfaat tentu tidak diperintahkan oleh Allah.
Namun perlu diperhatikan bahwa orang yang sedih tidaklah dikenai dosa jika tidak dikaitkan dengan sesuatu yang haram. Seperti yang terdapat pada orang yang tertimpa musibah sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh Allah tidaklah menghukum seseorang karena tetesan air mata dan kesedihan hati. Akan tetapi, Allah hanyalah menyiksa atau mengasihi hamba karena sebab (sabar atau keluhan) lisan ini (sambil beliau berisyarat dengan lisannya)”.
Iblis akan selalu senang mendekati orang yang tengah bersedih, membisikkan agar melupakan syariat agama sehingga terkadang muncullah prasangka buruk merasa bahwa Allah Ta’ala tidak lagi menyayanginya sehingga kesedihannya makin berlarut lupa akan nikmat yang ada pada dirinya.
Yang telah berlalu biarlah berlalu, yang telah ada biarlah ada karena memang sudah menjadi kodrat ketentuan Allah. Biarlah hidup ini berjalan dengan apa adanya, tetap memandang masa depan yang lebih baik, menyambut hari esok dengan senyuman. Tak usah berlarut dalam kesedihan karena manakala tidak terkendali bisa terlepas dari syariat agama seperti menyiksa diri, stres atau bunuh diri.
Untuk melenyapkan kesedihan banyaklah istighfar. “Barangsiapa menetapi istigfar, maka Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap kesempitan, kebebasan dari setiap kesedihan, dan Dia akan memberinya rizki dari arah yang tidak diperhitungkannya,” (HR. Abu Daud, Ibn Majah dan Imam Ahmad). Wallohu a’lambishshawab/H Ali Akbar Soleman Batubara