banner 728x250
Hikmah  

Tahajud, Jalan Para Nabi Dan Pejuang Kebenaran

ABNnews – Para nabi, sebelum berdakwah kepada umat, mereka terlebih dulu berdialog dengan Allah di keheningan malam. Sebelum menyeru manusia pada kebaikan, mereka menyandarkan hatinya kepada Yang Maha Benar. Tahajud bukan sekadar pelengkap ibadah para nabi. Ia adalah fondasi. Di situlah mereka mengadukan derita, memohon kekuatan, dan menguatkan tekad agar tetap istiqamah di tengah badai penolakan.

Allah berfirman:

وَمِنَ ٱلَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةًۭ لَّكَ ۖ عَسَىٰٓ أَن يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًۭا مَّحْمُودًۭا

“Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ 17:79)

Tahajud memang “hanya” ibadah tambahan. Tapi dengan tahajud Allah janjikan tempat yang terpuji. Dan itu bukan hanya derajat di akhirat. Tapi juga kemuliaan di dunia. Kekuatan untuk berkata benar. Kemampuan menuntun umat. Keberanian menolak kebatilan. Juga keteguhan memimpin di jalan yang lurus. Semua itu dimulai dari tahajud.

Nabi Musa ‘alaihis salam berdiri menantang Fir’aun, bukan karena gagah secara lahir. Tapi karena keyakinan dan doa yang dia panjatkan:

قَالَ رَبِّ ٱشْرَحْ لِى صَدْرِى • وَيَسِّرْ لِىٓ أَمْرِى • وَٱحْلُلْ عُقْدَةًۭ مِّن لِّسَانِى • يَفْقَهُوا۟ قَوْلِى

“Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, agar mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha 20:25–28)

Nabi Zakariya, di usia senjanya, memanjatkan doa secara diam-diam kepada Allah. Ini menunjukkan keintimannya dengan Allah. Kesyahduan dan keheningan sebagaimana suasana tahajud:

ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيَّآ • إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُۥ نِدَآءً خَفِيًّۭا

“(Inilah) penjelasan tentang rahmat Tuhanmu kepada hambaNya, Zakariya, ketika dia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.”

(QS. Maryam 19:2–3)

Nabi Yunus pun, dalam kesunyian paling kelam, dalam perut ikan, dalam kegelapan malam dan laut, mengucap kalimat yang menjadi zikir abadi para hamba yang berdosa:

فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَـٰتِ أَن لَّآ إِلَـٰهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَـٰنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ

“Lalu dia berseru dalam kegelapan: ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.’” (QS. Al-Anbiya 21:87)

Ayat ini bahkan disusul dengan janji agung dari Allah:

فَٱسْتَجَبْنَا لَهُۥ وَنَجَّيْنَـٰهُ مِنَ ٱلْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُۢنجِى ٱلْمُؤْمِنِينَ

“Maka Kami kabulkan doanya dan Kami selamatkan dia dari kesedihan. Dan demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anbiya 21:88)

Para nabi tak memulai seruan kepada umat tanpa lebih dulu menguatkan ruhani mereka, dalam sepertiga malam. Begitu pula para pewarisnya: para ulama dan pejuang Islam. Imam Abu Hanifah menangis semalaman mengulang-ulang membaca satu ayat karena tersentuh. Imam Ahmad menjaga malamnya dengan qiyam. Khalifah Umar bin Abdul Aziz, sebelum memimpin rakyatnya, lebih dulu melunakkan hatinya dengan tahajud.

Siapa pun yang ingin berdakwah, menyuarakan kebenaran, atau melawan kezaliman, jangan pernah tinggalkan malam tanpa sadar tahajud. Karena tahajud adalah pelita. Adalah pelindung dari kesombongan. Adalah penuntun arah perjuangan. Tanpa tahajud, perjuangan kita kehilangan ruh. Dan tanpa ruh itu, kita hanya akan menjadi aktivis yang lelah dan tersesat. Na’dzu billahi mindzalik…

Jakarta, 4 Juni 2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *