banner 728x250

PLN EPI dan KSBSI Dorong Budaya Kerja Berkelanjutan Berbasis ESG

Foto dok PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI)

ABNnews – PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) bersama Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menekankan pentingnya penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) serta pembangunan budaya kerja yang berkelanjutan di dunia ketenagakerjaan Indonesia.

Pesan ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Fair Labour and ESG: Membangun Budaya Kerja yang Berkelanjutan” yang diselenggarakan oleh SocialImpact.ID pada Kamis (8/5). Acara ini menghadirkan pemangku kepentingan dari sektor energi, serikat buruh, serta pegiat sosial dan keberlanjutan.

Sekretaris Perusahaan PLN EPI, Mamit Setiawan, menjelaskan bahwa meskipun perusahaan baru berdiri secara resmi pada 2023, PLN EPI telah menjalankan berbagai inisiatif strategis dalam mendukung transisi energi dan keberlanjutan operasional.

“Kami mengelola seluruh kebutuhan energi primer PLN Group, mulai dari batubara, gas, BBM, hingga biomassa. Semua diarahkan untuk mendukung transisi energi dan target Net Zero Emissions 2060,” ujarnya.

Sebagai langkah nyata, PLN EPI membentuk Direktorat Khusus Biomassa guna mempercepat substitusi batubara melalui program cofiring berbasis limbah organik. Selain aspek lingkungan, perusahaan juga memperkuat aspek sosial dan tata kelola melalui integrasi nilai AKHLAK, pelatihan lintas unit, serta program tanggung jawab sosial seperti Employee Volunteering Program (EVP)—yang meliputi donor darah, penanaman mangrove, dan kegiatan sosial “Jumat Berkah”.
PLN EPI juga menaruh perhatian besar pada kesejahteraan dan kenyamanan pegawai.

“Target kami bukan hanya efisiensi operasional, tapi juga menciptakan happy workplace. Kami memiliki fasilitas daycare, ruang laktasi, dan tahun lalu skor employee engagement kami mencapai 80,58,” jelas Mamit.

Sementara itu, Presiden KSBSI Elly Rosita Silaban menekankan bahwa praktik ketenagakerjaan yang berkeadilan memerlukan ruang dialog yang sehat antara pekerja dan pengusaha. Ia mengkritik pendekatan naming and shaming yang kerap digunakan dalam menyikapi konflik ketenagakerjaan.

“Kita tak bisa terus mengandalkan tekanan publik. Perlu ada ruang dialog agar pekerja merasa aman dan bersedia aktif dalam serikat,” tegasnya.

Elly juga mengangkat isu ketimpangan kapasitas antara serikat buruh dan pihak pengusaha, khususnya dalam hal akses terhadap riset dan publikasi. Menurutnya, banyak praktik baik di lapangan yang luput dari dokumentasi karena keterbatasan sumber daya.
Meski demikian, ia mengapresiasi langkah PLN EPI yang membuka ruang kolaborasi dengan pekerja dalam pengambilan kebijakan.

“Kami ingin hadir bukan hanya untuk menuntut, tapi juga berkontribusi terhadap keberlangsungan bisnis,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *