banner 728x250

Kinerja Manufaktur Lesu, Tapi 359 Pabrik Baru Dibangun: Ini Alasan Pemerintah Tetap Optimis

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief. (Foto dok Kemenperin)

ABNnews – Industri manufaktur Indonesia masih menghadapi tekanan berat di tengah dinamika ekonomi global dan derasnya impor produk jadi ke pasar domestik. Hal ini tercermin dalam capaian Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia pada Mei 2025 yang masih berada di zona kontraksi dengan skor 47,4, meskipun membaik dibandingkan April yang tercatat di level 46,7.

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami kontraksi sektor manufaktur. Negara lain seperti Vietnam (49,8), Prancis (49,5), Jepang (49,0), Jerman (48,8), Taiwan (48,6), Korea Selatan (47,7), Myanmar (47,6), dan Inggris (45,1) juga mengalami hal serupa.

Juru Bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arief, menyatakan bahwa penurunan permintaan menjadi penyebab utama menurunnya pesanan baru.

“Penurunan ini terjadi akibat lesunya pasar domestik dan ekspor, termasuk akibat kebijakan tarif tinggi dari AS atau yang dikenal sebagai ‘Tarif Trump’,” ujarnya di Jakarta, Senin (2/6/2025).

Selain itu, gangguan logistik akibat cuaca buruk dan keterbatasan armada kapal turut mempersulit pengiriman barang ke luar negeri. Di sisi lain, harga bahan baku yang terus naik membuat industri lokal kehilangan daya saing karena tak mampu bersaing dengan produk impor yang lebih murah.

“Harga bahan baku naik, sementara harga jual kompetitor tetap. Ini membuat pelaku industri kita harus melakukan efisiensi agar bisa bertahan,” jelas Febri.

Namun demikian, laporan dari S&P Global menunjukkan bahwa pelaku industri tetap optimis. Mereka memperkirakan kontraksi ini hanya bersifat sementara dan permintaan akan pulih dalam waktu dekat. Indikasi optimisme terlihat dari langkah industri yang terus menambah tenaga kerja selama enam bulan terakhir.

Febri mengonfirmasi hal tersebut, menyebutkan bahwa hingga triwulan I 2025, terdapat 359 perusahaan industri baru yang sedang membangun fasilitas produksi dengan serapan tenaga kerja mencapai 97.898 orang.

“Angka ini lebih tinggi dibandingkan jumlah PHK di sektor industri. Ini bukti adanya kepercayaan bahwa permintaan akan pulih, dan industri bersiap sejak sekarang,” ujarnya.

Febri menegaskan, pihaknya tidak menutup mata terhadap penutupan perusahaan atau PHK pekerja. Namun, data rekrutmen dan pembangunan pabrik baru harus dilihat sebagai bentuk optimisme terhadap masa depan industri nasional.

Pemerintah juga terus menyiapkan program untuk pekerja terdampak PHK, seperti: Upskilling dan reskilling, Wirausaha industri, Relokasi kerja ke perusahaan baru di lokasi sekitar

Pemerintah juga tengah menggulirkan insentif PPh 21 sebesar 3 persen bagi pekerja di sektor industri padat karya, yang diharapkan dapat memperkuat daya saing industri.

Kebijakan Pro-Industri Diperkuat

Febri menyoroti kebijakan afirmatif terbaru, yakni Perpres No. 46 Tahun 2025 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang mengatur agar belanja pemerintah wajib memprioritaskan produk manufaktur dalam negeri. Produk impor kini berada di urutan prioritas kelima.

Selain itu, Kemenperin sedang menyederhanakan tata cara perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) agar proses sertifikasi lebih cepat, murah, dan efisien.

“Ada 14.030 perusahaan yang sudah memiliki produk ber-TKDN dan dibeli melalui APBN dan BUMN/BUMD, dengan total penyerapan tenaga kerja mencapai 1,7 juta orang,” papar Febri.

Memperingati Hari Lahir Pancasila, Febri mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersatu membangun industri nasional. Ia menekankan pentingnya menghindari ego sektoral dan mengedepankan semangat gotong royong demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan ekonomi nasional.

“Manufaktur siap bergotong royong bersama sektor lain untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029 sesuai arahan Presiden Prabowo,” tutupnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *