banner 728x250
Opini  

Boleh Ganti OS, Moral Jangan

Catatan Cak AT

Siapa bilang pendidikan tak bisa melahirkan inovasi? Di era digital, kita tidak hanya diajari coding, tapi juga decoding modus korupsi. Kasus dugaan korupsi Rp9,9 triliun di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) era Nadiem Makarim sedang masuk tahap penyidikan.

Kasus itu seolah kurikulum tersembunyi tentang bagaimana mengganti sistem operasi bisa mengoperasikan sistem korupsi. Modusnya? Tidak perlu serumit algoritma AI. Cukup ubah spesifikasi laptop dari Windows ke Chromebook, padahal hasil uji coba sebelumnya sudah bilang: “Jangan!” Tapi, suara evaluasi kalah nyaring dibanding bisikan tender.

Dan netizen pun ramai bereaksi. “Nadiem nggak bisa tidur nih,” komentar seorang warga WhatsApp dengan simpati bercampur sinisme. Tapi tenang, Pak Nadiem mungkin tetap bisa tidur, meski kami —yang masih punya iman pada pendidikan— harus begadang mempertanyakan, sebenarnya siapa yang sedang belajar dari siapa?

Anggaran Rp9,9 triliun semula disiapkan demi digitalisasi pendidikan. Hebat. Kita membayangkan anak-anak di pelosok memegang laptop, menjelajahi dunia digital, belajar matematika, bahasa, dan etika. Nyatanya, yang terjadi adalah pelajaran paling berharga: bagaimana negara bisa menyuap masa depan anak-anaknya sendiri.

Padahal menurut data BPS (2023), lebih dari 43% sekolah di Indonesia belum punya akses internet memadai. Tapi kita malah dipaksa percaya bahwa laptop jenis Chromebook yang sangat bergantung pada internet adalah solusi pendidikan. Ini bukan kebijakan, ini _stand-up comedy._ Tapi sayangnya, tiketnya dibayar dari uang pajak rakyat.

Dan jangan lupa, anda juga pasti sudah sangat tahu bahwa Chromebook itu bukan sekadar merek. Laptop ringan ini hadir dengan sistem tertutup, minim fleksibilitas, dan nyaris tak bisa digunakan tanpa koneksi. Maka kita pun harus bertanya: apakah ini pengadaan laptop atau pengadaan alasan untuk mencuri?

Sebagai mantan bos Gojek yang dikenal membawa semangat startup ke birokrasi, Nadiem seperti mencoba meng-install inovasi ke dalam sistem pendidikan. Tapi sayang, sistemnya malah _crash_. Ia mungkin lupa bahwa pendidikan bukan produk yang bisa _di-pivot,_ apalagi bila terlalu banyak pihak yang ingin monetisasi pengadaan barang.

Dengan harta Nadiem yang melonjak triliunan setelah menjadi menteri, namun hanya mengandalkan mobil Brio, publik pun bertanya: apakah ini _modesty_, atau modus? Apakah mungkin pak Nadiem tidak paham perbedaan sederhana antara laptop Chromebook dan laptop Windows? Atau hanya demi harga yang lebih murah?

Dalam soal harga ini pun, netizen tak bisa dibohongi. Berdasarkan laporan dan penelusuran beberapa tahun lalu saat proyek ini berjalan (2021–2022), harga satuan Chromebook dalam proyek pemerintah ini ditaksir sekitar Rp10 juta per unit. Padahal, harga pasarannya bisa hanya Rp3–5 juta.

Dari angka Rp 9,9 triliun, sebanyak Rp3,58 triliun digunakan untuk Chromebook. Jika dihitung pakai harga “resmi pengadaan” Rp10 juta, maka hanya 358 ribu laptop didapat. Tapi dengan harga wajar Rp4 juta, maka bisa 900 ribu laptop yang didapat. Sementara jumlah siswa lebih dari 45 juta, sehingga hanya 1 dari 50 siswa yang bisa pegang satu.

Dan itu pun, kalau semua laptop sampai ke siswa, tanpa nyangkut di tikungan. Lantas, bagaimana kalau-kalau laptop-nya nyasar ke “saku digital”, ya yang pegang laptop cuma para pelaku tender dan pembuat kajian fiktif. Siswa cukup pegang papan tulis, dan kini mulai bikin tagar #NadiemGakBisaTidur.

Yang lebih menyesakkan: lembaga pimpinan Nadiem Makarim yang harusnya “mendidik”, justru “terdidik” menjadi korup. Bagaimana anak-anak kita bisa percaya pada nilai kejujuran jika kementeriannya sendiri ikut dalam praktikum kemunafikan?

Di tengah dugaan korupsi ini, bagaimana pun kita harus jujur mengakui: pendidikan tetap satu-satunya harapan kita. Tapi pendidikan yang seperti apa? Tentu bukan yang dikendalikan para pesulap tender, bukan pula yang melanggengkan kebijakan asal-asalan berbalut jargon digitalisasi.

Jika benar terbukti ada permufakatan jahat, seperti yang disampaikan Kejagung, maka langkah selanjutnya bukan sekadar penyidikan. Tapi perombakan total terhadap bagaimana kita memandang proyek-proyek pendidikan: bukan sebagai ladang basah, tapi sebagai tanggung jawab sejarah.

Mungkin kita perlu kembali ke pelajaran dasar: bahwa Operating System atau OS terbaik dalam pendidikan bukan Windows atau Chromebook. Tapi OS: “Orang Sehat” —akal sehat, moral sehat, dan birokrasi yang tidak sakit.

Mari kita ingatkan Kemendikbud, dengan gaya bahasa yang mereka pahami: _It’s not about the device, it’s about the decision-making_. Dan keputusan mereka kali ini, jika terbukti, bukan saja menjual masa depan, tapi men-download rasa malu kolektif.

Karena kalau lembaga pendidikan saja sudah ikut korup, mungkin saatnya kita ubah singkatan Kemendikbud jadi: Kementerian Menyediakan Diksi Busuk Untuk Dijual.

Selamat datang di negeri Chromebook, di mana spesifikasi moral bisa di-downgrade —asal margin-nya naik.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 28/5/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *