banner 728x250
Opini  

Ide Frustasi Amerika: Bom Nuklir Saja Gaza

Catatan Cak AT

Dalam dunia politik modern, kadang kita harus bertanya-tanya: siapa yang benar-benar memimpin dunia? Para negarawan bijak? Para pemimpin berintegritas? Atau justru —para komentator medsos yang secara tak sengaja terpilih duduk di Kongres dan membuat kita rindu ke era akal sehat?

Baru-baru ini, Randy Fine, seorang anggota Kongres dari Amerika Serikat, sukses membuat dunia tercengang, ngeri, dan terbahak (dalam keputusasaan). Dia melemparkan pernyataan bahwa satu-satunya cara mengalahkan Palestina adalah dengan membumi-hangus Gaza dengan bom nuklir seperti dilakukan Amerika pada Hiroshima dan Nagasaki.

Ya, Anda tidak salah dengar. Ucapannya membuat kita bertanya-tanya: ini Kongres atau cosplay Lord Voldemort? Akal sehat macam apa yang masih tersisa di kepalanya? Betapa putus-asanya dia melawan Hamas.

Barangkali kita bisa lebih paham jika coba bedah pernyataan ini dari sisi psikologis, politis, dan tentu saja, logika dasar umat manusia.

Pertama, pernyataannya menunjukkan psikologi kekalahan dan frustasi akut yang dibungkus dalam bom Hiroshima dan Nagasaki yang mengerikan.

Ada satu hal yang menonjol dari pernyataan Fine: frustrasi eksistensial. Jika Israel (yang didukung penuh oleh AS, baik dengan dana, senjata, maupun nyinyiran diplomatik) tak kunjung bisa “menundukkan” Hamas setelah lebih dari 20 bulan perang, maka mungkin benar kata anggota Parlemen Israel, Amit Halevi: ini adalah perang yang gagal total.

Dan dalam psikologi kekuasaan, saat narasi kemenangan tak bisa dipenuhi, narasi “penghancuran total” seringkali menjadi kompensasi bagi ego yang remuk. Ini disebut mekanisme pertahanan proyeksi agresif. Saat Anda tak bisa menang, buat lawan Anda tidak eksis sama sekali. Bukan debat ide, bukan perbaikan strategi. Cukup: _nuke them_.

Ini bukan strategi militer. Ini bentuk fatalisme bersenjata—suatu kondisi di mana logika telah digantung di tiang bendera dan digantikan oleh testosteron politik dan trauma kolonial yang belum selesai. Bukankah sejarah mencatat bahwa bahkan Jepang, yang dijadikan analogi oleh Fine, baru menyerah setelah kombinasi tekanan militer, diplomatik, dan kehancuran moral—bukan hanya karena dua bom atom?

Kedua, pernyataannya memproklamirkan rasisme institusional dan mimpi basah kolonial.

Randy Fine menyebut budaya Palestina sebagai “budaya kekerasan” yang harus dihancurkan. Ini semacam teori psikologi terbalik —di mana sang pelaku kekerasan justru menyebut korbannya sebagai pelaku kekerasan. Seperti pencuri yang meneriaki orang lain maling.

Dalam psikologi sosial, ini dikenal sebagai dehumanisasi: proses mencabut kemanusiaan dari kelompok tertentu sehingga tindakan ekstrem terhadap mereka menjadi lebih “masuk akal” secara moral.

Dalam sejarah, inilah langkah pertama menuju genosida: dari Hitler yang menyebut Yahudi sebagai “kecoa”, hingga apartheid yang menyebut warga kulit hitam sebagai “sub-human”. Hingga… ya, pernyataan anggota Kongres AS yang menyerukan pemusnahan dua juta jiwa bangsa Palestina karena mereka salah budaya.

Ketiga, pernyataannya menampilkan politik sebagai terapi dendam.

Mari kita jujur: pernyataan Fine lebih banyak mencerminkan kondisi internal dirinya dan sistem yang mendukungnya ketimbang realitas di lapangan. Jika Israel benar-benar menang, apakah perlu ada pernyataan histeris tentang menggunakan bom nuklir?

Kalau Hamas benar-benar akan kalah dalam waktu dekat, mengapa ada suara-suara putus asa seperti ini?

Pernyataan Fine bukanlah strategi. Ini adalah bentuk teriakan batin dari kekalahan yang tak diakui. Seperti anak kecil yang kalah main gundu lalu berkata, “Pokoknya kamu curang!” lalu melempar papan permainan.

Keempat, pernyataannya menggaungkan pertanyaan: Apakah ini akhir rasionalitas, yang anehnya muncul dari bangsa yang mengaku paling maju?

Lebih dari separuh penduduk Gaza adalah anak-anak. Seruan untuk membom mereka dengan nuklir bukan hanya mengerikan —itu adalah kegagalan kolektif umat manusia dalam menjaga batas moral universal.

Dan dunia? Terbagi antara yang marah, yang terdiam, dan yang justru ikut nyanyi dalam paduan suara neraka ini.

CAIR (Dewan Hubungan Amerika-Islam) mengecam pernyataan Fine sebagai “hasutan eksplisit untuk genosida”. Tapi pertanyaannya: Apakah Kongres AS akan bersikap? Atau, seperti biasa, akan tenggelam dalam senyap diplomatik di antara kampanye pemilihan dan debat tentang pajak soda?

Akhir kata, jika nuklir pernah menjadi simbol kekuatan absolut, hari ini ia menjadi metafora dari kehancuran nalar. Ketika seorang anggota Kongres bisa menyarankan pemboman nuklir terhadap rakyat sipil tanpa dicopot keesokan harinya, kita tidak hanya sedang mengalami krisis diplomatik. Kita sedang berada di tengah krisis moral dan kemanusiaan.

Barangkali sudah waktunya kita bertanya: siapa sebenarnya yang membahayakan dunia —para pejuang bersenjata dari Gaza, atau mereka yang duduk tenang di ruangan ber-AC, memegang segelas kopi, dan menyerukan pembunuhan massal dengan gaya orator Roman kuno?

Dunia tidak butuh lebih banyak bom. Dunia butuh lebih banyak akal. Dan sejujurnya, Randy Fine, Anda bukan solusi. Anda adalah gejala sakit jiwa.

-000-

Catatan akhir:
Menurut laporan Federasi Nuklir Internasional, dampak ledakan nuklir di wilayah sekecil Gaza bukan hanya akan membunuh jutaan orang dalam sekejap, tapi juga menciptakan dampak radiasi dan ekologi yang bertahan selama ratusan tahun. Jadi, jika ini masih dianggap ide politik yang sah, mungkin sudah waktunya kita mengganti pemilu dengan tes kesehatan mental.

Cak AT – Ahmadie Thaha
Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 27/5/2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *