banner 728x250
Hikmah  

Suka Mencela Dan Melaknat

ABNnews – KH. Abdullah Gymnastiar dalam bukunya berjudul “Bahaya Lisan, menyatakan, lisan memiliki potensi besar untuk menjerumuskan seseorang ke dalam kebinasaan. Sebaliknya, ia juga menjadi penentu kemuliaan dan kehormatan seseorang.

Ya, lisan seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, lisan dapat digunakan untuk menyebarkan kebaikan, seperti menyampaikan ilmu, memberi nasihat, dan menghibur orang lain. Namun, di sisi lain, lisan juga bisa melukai hati orang lain melalui perkataan buruk, seperti fitnah, gosip, dan ujaran kebencian.

Oleh karena itu, Islam mengajarkan umatnya untuk senantiasa menjaga adab berbicara. Hal ini mencakup berkata dengan lemah lembut, tidak menyakiti orang lain, dan menghindari pembicaraan yang sia-sia.

Dalam Al-Quran dan hadis, menjaga lisan sangat ditekankan karena setiap perkataan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dengan menjaga lisan, seorang muslim tidak hanya menjaga hubungan baik dengan sesama, tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meraih kemuliaan di dunia maupun akhirat.

Marilah kita jadikan lisan sebagai alat untuk menyebarkan kebaikan, menghindari keburukan, dan selalu berusaha berkata yang benar sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan hadis.

Rasulullah saw dalam banyak hadis juga menekankan pentingnya menjaga lisan. Beliau bersabda “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Al Ghazali mengingatkan agar kita tidak mudah mencela seseorang apalagi orang tersebut telah meninggal dunia karena dikhawatirkan dapat menyakiti hati keluarganya yang masih hidup. Melaknat bukanlah perangai orang beriman. Bahkan Islam melarang mencela angin, binatang dan waktu.

Rasulullah bersabda: “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela dan bukan orang yang suka melaknat serta bukan orang yang suka bicara jorok dan kotor.” (HR. Al-Bukhari).

Mencela dan melaknat itu muncul dari lisan sseorang yang tak berpegang teguh dengan Iman dan Islamnya. Lisan itu luar biasa dapat mengangkat derajat manusia tapi juga dapat menyengsarakan pemiliknya manakala tidak dapat mengelolanya sehingga bisa berakibat menimbulkan murka Allah.

Imam al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin menyebutkan ada beberapa cara introspeksi diri menjaga lisan untuk mencapai kebahagian di dunia dan akhirat: Pertama, Musyaratah yaitu komitmen yang kuat sebelum mulai melakukan aktivitas untuk selalu berbuat baik setiap waktu dan meninggalkan segala perbuatan yang tidak terpuji.

Kedua, pada saat melakukan aktivitas kita harus merasakan bahwa Allah SWT selalu hadir dalam diri kita. Allah selalu memantau diri kita setiap waktu. Hal ini yang biasa kita sebut dengan Muraqabah.

Ketiga, Muhasabah (instropeksi diri) dilakukan setelah selesai melakukan aktivitas sebagai langkah evaluasi terhadap perbuatan yang telah dilakukan.

Akhlak dan akidah menjadi bagian yang penting dalam Islam keduanya saling berkaitan.Apabila akhlak merupakan bentuk lahiriah atau perilaku manusia maka akidah (keyakinan) itu dalam bentuk batin manusia.

Menjaga lisan adalah ibadah, karena setiap ucapan akan dipertanggungjawabkan di akhirat nanti. Perkataan yang tidak baik dapat menjadi sumber dosa, seperti ghibah (menggunjing), fitnah, dan berbohong.

Tentu saja lisan yang terjaga dapat membangun keharmonisan, menciptakan kedamaian, dan menyebarkan kebaikan, mencegah konflik: dan menjaga kehormatan.

Orang yang menjaga lisannya dari perkataan yang buruk akan selalu berada dalam ridha Allah SWT. (Wallohu a’lambishshawab/H. Ali Akbar Soleman Batubara).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *