ABNnews – Lebaran sangat identik dengan kegiatan mudik. Dalam perspektif Islam, mudik lebih dari sekadar tradisi; ia memiliki nilai spiritual yang mendalam dan mencerminkan sejumlah ajaran Islam. Silaturahmi atau menjalin hubungan baik dengan keluarga dan kerabat, adalah salah satu aspek penting dalam Islam. Hal ini sudah tercantum dalam Al-Quran dan Hadist.
Nabi Muhammad SAW yang bersabda. “Barangsiapa menjamin untukku satu perkara, aku jamin untuknya empat perkara. Hendaknya dia bersilaturahmi, niscaya keluarganya akan mencintainya, diperluas baginya rezekinya, ditambah umurnya dan Allah memasukkannya ke dalam surga yang dijanjikan-Nya”.(HR. Ar-Rabii’).
Dari hadis ini membuktikan bahwa silaturahmi merupakan kegiatan yang diteladani Rasulullah karena disukai oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain dan peliharalah hubungan silaturahmi“. (An-Nisa/4:1).
Itulah sebabnya, silaturahmi ibadah yang sangat mulia dan memiliki ganjaran pahala yang besar. Bahkan, hal sunnah ini jika tidak dilakukan akan terkena ancaman berat bagi siapa saja yang tidak memelihara dan memutuskan ikatan silaturahmi. Allah SWT pun berfirman di dalam surah Al-Baqarah/2 : 27. “(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi“. (al Baqarah/2 : 27).
Dari Jubair bin Muth’im bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah berkata: “Tidak akan masuk surga orang yang memutuskan hubungan kerabat.”Marilah memulai silaturahmi untuk menjadi salah satu rutinitas agar terhindar dari ancaman-ancaman besar yang tidak diinginkan.
Jadi, tradisi mudik di Indonesia tidak hanya sekedar pulang ke kampung saja. Tradisi ini akhirnya dimanfaatkan untuk melakukan silaturahmi. Selain mendapatkan pahala, mudik juga mengajarkan tentang kesederhanaan dan kesabaran. Perjalanan mudik yang sering kali panjang dan melelahkan menjadi sarana untuk melatih kesabaran dan ketabahan. Ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya sabar dalam menghadapi cobaan.
Dalam konteks yang lebih luas, mudik juga mencerminkan nilai kebersamaan dan kepedulian. Saat mudik, banyak orang yang berbagi dengan sesama, baik itu dalam bentuk materi maupun non-materi. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk saling membantu dan berempati terhadap sesama.
Mudik juga memiliki dimensi ekonomi dalam Islam. Dengan pulang kampung, seseorang dapat membantu perekonomian daerah asalnya melalui berbagai transaksi yang terjadi selama mudik. Ini merupakan refleksi dari konsep ekonomi Islam yang berbasis pada keadilan dan kesejahteraan bersama. (Wallohu a’lambishshawab/H. Ali Akbar Soleman Batubara/dari berbagai sumber).