banner 728x250

Ekonom Usulkan Langkah Ini ke Pemerintah untuk Atasi Penurunan Daya Beli Masyarakat

Ilustrasi. (Foto: istimewa)

ABNnews — Bank Indonesia (BI) mencatat ada penurunan daya beli masyarakat dalam periode sebelum Ramadhan dan Idul Fitri atau Lebaran 2025. Hal itu ditunjukkan pada hasil survei atas penjualan eceran di Tanah Air.

Mengacu data yang disajikan, Indeks Penjualan Riil pada Februari 2025 diprediksi turun 0,5 persen secara tahunan atau dari Februari 2024 lalu. Sedangkan, penjualan eceran pada Februari juga diprediksi tumbuh tipis 0,8 persen dari Januari 2025 atau secara bulanan. Tren itu memperpanjang kontraksi penjualan eceran pada Januari 2025 yang tercatat anjlok minus 4,7 persen.

Penurunan daya beli masyarakat ini harus menjadi perhatian serius. Meski pemerintah mengklaim deflasi sebagai keberhasilan dengan penurunan harga komoditas, namun kenyataannya deflasi ini lebih dipengaruhi oleh penurunan daya beli masyarakat.

Menurut Prof. Dr. Anton Agus Setyawan, Guru Besar bidang Ilmu Manajemen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), kondisi ini jelas berdampak pada sektor ekonomi Indonesia.

Dikatakan, penurunan daya beli masyarakat dapat dilihat dari menurunnya konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sektor perdagangan dan jasa pun turut terdampak, mengingat menurunnya pengeluaran masyarakat.
“Pada awal 2025, hampir 14.000 pekerja formal kehilangan pekerjaan akibat penurunan di sektor manufaktur. Hal ini mempengaruhi pendapatan rumah tangga dan akhirnya daya beli masyarakat menurun,” kata Anton.
Pemerintah, lanjutnya, telah berusaha untuk mengurangi beban masyarakat, seperti dengan memberikan potongan tarif listrik dan merencanakan subsidi jalan tol selama lebaran. Namun, langkah-langkah tersebut belum cukup untuk mengatasi permasalahan struktural dalam perekonomian.

Ekonom UMS itu mengusulkan beberapa langkah yang dapat diambil oleh pemerintah, baik dalam jangka pendek maupun panjang.

Dalam jangka pendek, pemerintah dapat memperluas penerima manfaat dari program bantuan sosial, seperti Program Keluarga Harapan, dengan menambah jumlah keluarga yang menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Hal ini akan membantu meningkatkan daya beli masyarakat yang terdampak langsung. “Saya kira satu hal langkah positif yang dapat dilakukan pemerintah dalam jangka pendek adalah memperluas program Keluarga Harapan dengan menambah jumlah penerima BLT,” katanya.

“Selain itu, pemerintah juga bisa memberikan hibah kepada UMKM untuk membantu usaha yang rentan terhadap ketidakstabilan ekonomi, sehingga dapat mendorong daya beli masyarakat.” ujarnya.

Selain itu, untuk sektor industri, pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri manufaktur agar tidak semakin tertekan, seperti potongan pajak atau kemudahan ekspor untuk industri yang memiliki kandungan lokal tinggi.

Anton juga menyoroti pentingnya membenahi iklim investasi di Indonesia. Meskipun beberapa kebijakan sudah ada, iklim investasi yang belum mendukung kinerja industri menjadi hambatan.

Salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah memperbaiki efisiensi perekonomian dengan mengurangi pungutan liar (pungli) dan korupsi di birokrasi. Menurutnya, angka Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih tinggi, di atas 6%, menjadi indikator ketidakefisienan ekonomi.

“Pengurangan pungli dan kebocoran anggaran akan membantu menurunkan biaya ekonomi. Ini sangat penting agar iklim investasi lebih kondusif, dan daya saing industri Indonesia dapat meningkat,” kata Anton. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *