banner 728x250

Hukum Tidak Tebang Pilih, Tangkap Pembuat Pagar Laut di Pesisir Kabupaten Tangerang

ABNnews – Direktur Gerakan Perubahan (Garpu) Muslim Arbi mengatakan, aparat penegak hukum (APH) harus tegas terhadap pihak yang memagari laut di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten. Apalagi imbas pemagaran laut sepanjang 30,16 kilometer itu membuat nelayan kesulitan mencari ikan dan mengais rejeki.

“Harus ditangkap (pihak yang memagari laut). Itu jelas sudah bikin negara dalam negara,” ujar Muslim Arbi di Jakarta, Kamis (9/1/2025).

“Segera saja ditangkap. Jika tidak segera di tangkap nanti akan diserbu rakyat,” imbuhnya.

Muslim menilai, pihak – pihak yang memagari laut di Kabupaten Tangerang bukan kuat dan eksis sehingga terkesan tidak ada yang berani mengusiknya. Adanya para pihak yang berani memagari laut itu karena sistem kekuasaan yang melindungi mereka. Apalagi ada faktor balas budi dari orang – orang yang berkuasa karena adanya peran mereka.

“Semua itu akibat bentuk balas budi yang di lakukan oleh para penguasa terhadap pengusaha yang sebagai bagian dari oligarki ekonomi,” jelasnya.

Para penguasa, sambung Muslim, memberikan dukungan kepada oligarki politik. Hal itulah yang membuat pengusaha atau oligarki merasa menguasai atas lahan atau wilayah yang diberikan penguasa untuk dimanfaatkan atau dikelola.

“Itu barang kali bagian dari pangkal kericuhan terkait upaya perusakan sistematis terhadap NKRI,” tandasnya.

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (Laksamana) Samuel F. Silaen mengatakan, pihak yang memagari laut di Tangerang bukan pengusaha murni. Karena jika murni pengusaha maka tidak akan berani untuk melakukan kegilaan semacam itu. Apalagi jika tidak diberikan lampu hijau oleh pemangku- kebijakan yang memiliki kekuasaan politik ditingkat pusat kekuasaan.

“Jadi dapat diartikan pengusaha tersebut adalah kaki tangan atau antek-antek pemilik kuasa ditingkat elit di pusat yang menekan sampai ketingkat lokal atau daerah. Jadi pengusaha tersebut tidak lain adalah penguasa,” tegasnya.

Silaen menilai, adanya pengusaha yang penguasa yang merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena merusak sistem kekuasaan dan aturan hukum yang berlaku di suatu negara. Peraturan hukum harus mengikuti keinginan penguasa yang pengusaha. Karena bagaimana bisa bibir pantai yang merupakan ruang publik dan fasilitas umum rakyat dikuasai oleh pengusaha yang merupakan badan hukum korporasi.

“Apa tidak kegilaan ini namanya! Bila rakyat Indonesia tidak bangkit melawan kezaliman maka akan semakin merajalela kegilaan semacam ini,” tegasnya.

Silaen memaparkan, saat ini negara sudah tidak berdaya dan kehilangan wibawa dalam penegakan hukum. Tidak heran perilaku penguasa sepertinya sudah diluar akal sehat, sehingga bertindak diluar nilai- nilai luhur bangsa. Jadi apalah artinya negara merdeka bila semuanya sudah tidak dapat dinikmati sebagai ruang publik/ umum yang merupakan ciptaan dan titipan Tuhan pencipta alam semesta ini.

“Pertanyaannya siapa yang salah? Tentu saja yang salah itu adalah pemimpin dari tingkat pusat sampai daerah yang sudah kehilangan rasa perikemanusiaan dan keadilan,” paparnya.

“Sebab itu rakyat harus berani melawan kezaliman dan lantang bersuara melawan antek- antek Dajjal. Bila tidak bangkit melawan dari penindasan ini maka jangan harap dapat hidup normal lagi. Sebab kerusakan itu nyata dilakoni oleh penguasa rakus tamak dan zalim menangkap pengusaha dan sebaliknya, tandasnya,” imbuhnya.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten Eli Susiyanti mengungkap pagar tersebut berbahan bambu atau cerucuk bertinggi sekitar 6 meter. Pemerintah mengetahui pagar tersebut berdasarkan laporan warga sejak 14 Agustus 2024 lalu.

“Panjang 30,16 km ini meliputi 6 kecamatan, tiga desa di Kecamatan Kronjo, kemudian tiga desa di Kecamatan Kemiri, empat desa di Kecamatan Mauk, satu desa di Kecamatan Sukadiri, dan tiga desa di Kecamatan Pakuhaji, dan dua desa di Kecamatan Teluknaga,” ungkap Eli pada diskusi ‘Pemasalahan Pemagaran Laut di Tangerang Banten,” di Gedung Mina Bahari IV, Jakarta, Selasa (7/1/2025).

Di kawasan sekitar pagar, ada masyarakat pesisir yang beraktivitas sebagai nelayan sebanyak 3.888 orang dan ada 502 orang pembudidaya.

Eli mengatakan pihaknya sudah menerjunkan tim lima hari untuk mengecek keberadaan pagar itu. Saat itu, ada dugaan pemagaran laut sepanjang 7 kilometer.

Tim gabungan DKP bersama Polisi Khusus Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) kembali datang ke lokasi pada 4-5 September. Tim mengungkap tak ada izin dari camat ataupun kepala desa untuk pemagaran itu.

“Terakhir kami melakukan inspeksi gabungan bersama-sama dengan TNI Angkatan Laut Polairud, kemudian dari PSDKP, dari PUPR, dari SATPOL PP, kemudian dari Dinas Perikanan Kabupaten Tangerang, kami bersama-sama melaksanakan investigasi di sana dan panjang lautnya sudah mencapai 13,12 km, terakhir malah sudah 30 km,” ungkap Eli.

Ia menerangkan pagar itu masuk dalam kawasan pemanfaatan umum yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Banten Nomor 1 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten Tahun 2023-2043.

Eli menyebut pagar misterius itu terbentang di zona pelabuhan laut, zona perikanan tangkap, zona pariwisata, zona pelabuhan perikanan, zona pengelolaan energi, dan zona perikanan budidaya. Pagar itu juga beririsan dengan rencana waduk lepas pantai yang diinisiasi oleh Bappenas.

Lantas siapa yang membangun pagar misterius sepanjang 30 km itu di laut Tangerang?

Pemerintah daerah maupun pusat mengaku tidak tahu siapa pemilik pagar ilegal tersebut.

Direktur Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Suharyanto mengaku tak tahu siapa yang membangun pagar tersebut. Artinya, pagar tersebut masuk kategori ilegal.

Namun, sambung Suharyanto, Ombudsman sedang melakukan penelusuran terkait hal itu.

Saat ditanya kemungkinan pemagaran untuk reklamasi, ia tak bisa memastikan. Suharyanto mengatakan reklamasi pun perlu pengurusan izin terlebih dulu.

Dalam hal ini, proses perizinan ruang laut, harus ada persyaratan ekologi ketat yang harus dipenuhi.

“Nah, kita tidak tahu. Itu (reklamasi) baru kita ketahui ketika ruang laut itu diajukan permohonan dan dalam permohonannya ada proposalnya. Ini kan tidak ada,” ujarnya.***

Bagus Iswanto

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *