ABNnews – Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Ersento Maraden Sitorus mengatakan, sungguh sesuatu yang aneh atas wacana memberikan pengampunan kepada koruptor yang mengembalikan kerugian negara seperti yang disampaikan oleh Presiden Prabowo. Kebijakan pengampunan terhadap koruptor dapat dimaknai menjadi tebang pilih penegakan hukum.
“Saya yakin masyarakat tidak sependapat dengan niatan Presiden Prabowo tersebut karena para koruptor sudah merugikan negara dan rakyat,” ujar Fernando di Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Menurutnya, apabila pengampunan kepada koruptor direalisasikan oleh Presiden Prabowo berarti ada sikap inkonsisten terkait dengan janji politik pada saat kampanye dan juga pidatonya pada saat dihadapan para anggota MPR pasca diambil sumpahnya sebagai presiden. Walaupun dengan persetujuan DPR dan MA sangat mungkin pengampunan tersebut juga dimanfaatkan untuk membebaskan orang yang dekat penguasa.
“Bahkan ada transaksi atas pengampunan yang diberikan oleh Presiden terhadap para koruptor. Sehingga janji politik dan komitmen Prabowo akan memberantas korupsi hanya omon-omon saja,” tegasnya.
Diketahui, Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas mengatakan Presiden memiliki hak untuk memberikan pengampunan kepada koruptor, namun tetap melalui proses pengawasan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait grasi serta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam hal pemberian amnesti. Ia juga mengatakan pelaku tindak pidana korupsi atau koruptor tidak serta merta mendapatkan amnesti ataupun grasi.
“Kalau melakukan grasi wajib minta pertimbangan ke MA. Sedangkan untuk amnesti, itu ke DPR. Artinya, perlu ada yang mengawasi sehingga adanya pertimbangan dari kedua institusi,” kata Supratman di Kantor Kementerian Hukum (Kemenkum) Jakarta, Senin (23/12/2024).
Mantan Ketua Badan Legislasi DPR ini menerangkan kalau pemerintah Indonesia akan mengupayakan hukuman yang maksimal bagi koruptor. Di samping itu, pemerintah juga menekankan aspek pemulihan aset dalam kasus tindak pidana korupsi.
“Pemberian pengampunan bukan dalam rangka membiarkan pelaku tindak pidana korupsi bisa terbebas. Sama sekali tidak. Karena yang paling penting, bagi pemerintah dan rakyat Indonesia, adalah bagaimana asset recovery itu bisa berjalan. Kemudian kalau asset recovery-nya bisa baik, pengembalian kerugian negara itu bisa maksimal. Presiden sama sekali tidak menganggap (pengampunan koruptor) dilakukan serta merta,” ujarnya.
Menkum mengungkapkan pemberian pengampunan kepada koruptor maupun pelaku kejahatan lainnya adalah hak kekuasaan yudikatif, namun Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) memberikan hak konstitusional kepada presiden untuk memiliki kekuasaan yudisial tersebut.
Sebelum perubahan UUD 1945, kewenangan yudisial yang melekat kepada presiden sebagai kepala negara itu bersifat absolut. Kemudian pasca-amandemen UUD 1945, kekuasaan presiden tidak absolut. Presiden perlu meminta pertimbangan kepada MA dan DPR.
“Karena itu supaya keputusan yang diambil, apa itu grasi, amnesti, atau abolisi, ada aspek pengawasannya. Tidak serta-merta Presiden mengeluarkan tanpa pertimbangan kedua institusi tersebut,” kata dia.
Selain presiden, kewenangan memberikan pengampunan kepada koruptor dan pelaku kejahatan lainnya juga diberikan kepada Kejaksaan Agung melalui denda damai. Sehingga, baik Presiden maupun Kejaksaan Agung diberikan ruang untuk memberikan pengampunan.
“Tanpa lewat presiden pun memungkinkan untuk memberikan pengampunan karena Undang-undang Kejaksaan yang baru memberi ruang kepada Jaksa Agung untuk melakukan upaya denda damai bagi perkara tindak pidana korupsi,” tutur Supratman.
Supratman pun menyebutkan bahwa proses pemberian pengampunan kepada koruptor masih menunggu arahan lebih lanjut dari Presiden Prabowo Subianto.
“Oleh karena itu, teman-teman nanti bisa menunggu langkah konkret selanjutnya, setelah diberi arahan kepada kami oleh Bapak Presiden,” tuturnya.***
Bagus Iswanto