ABNnews – Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 menunjukkan sikap para elite politik yang tidak ingin ada hukuman baik secara politik maupun pidana kepada mantan presiden.
“Kami khawatir para elite ini tidak menginginkan adanya model penghukuman secara politik dan hukum pada mantan presiden. Padahal, menurut kami dalam sebuah negara demokratis penghukuman bagi penguasa yang dzalim yang melakukan kesalahan itu sangat wajar,” kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti dalam diskusi Constitutional and Administrative Law Society (CALS), dikutip cnnindonesia. Minggu (29/8).
Bivitri mencontohkan kasus yang menjerat Donald Trump di Amerika Serikat (AS). Meski Trump mencalonkan diri kembali sebagai presiden, tetapi kasus hukumnya yang berkaitan dengan pelecehan seksual dan pajak terus berjalan. Begitu juga dengan negara lain, mantan presiden yang bersalah tetap dihukum.
Ia menegaskan berdasarkan kajian administrasi dan tata negara, kesalahan mantan presiden harus diungkap.
“Memang Soeharto telah meninggal dunia, tapi penghukuman secara tata negara dalam penyebutan dan TAP MPR tidak salah. Bukan berarti kita menanggalkan nilai maaf-maafan kita sebagai orang Indonesia,” ujar Bivitri.
Ia menilai langkah itu menunjukkan para elit tidak ingin ada penghukuman secara politik dan hukum kepada mantan presiden.
“Apakah kita memaafkan karena beliau sudah meninggal? Ya, silakan. Tapi jangan lupa pertanggungjawaban politik dan hukum tata negara dan administrasi negaranya harus tetap ada dan itu lah gunanya ketetapan MPR sebagai pernyataan politik,” ucapnya.