ABNnews — Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai pansel belum maksimal menjaring calon pimpinan dan calon dewas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinyatakan lolos tes profile assessment, meski sudah tegas menjegal Komisioner Nurul Ghufron.
Sebab, masih ada dua orang yang pernah berurusan dengan dugaan pelanggaran etik, namun, masih diloloskan.
“Ada sejumlah nama yang sebelumnya pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik, seperti Johanis Tanak dan Pahala Nainggolan,” kata Peneliti dari ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, yang dikutip pada Jumat.
Pahala pernah dilaporkan atas dugaan pelanggaran etik, namun, tidak sampai ke tahap persidangan karena Dewas KPK tidak menilai adanya pelanggaran. Sementara itu, Johanis sudah sampai tahap persidangan, namun, dinyatakan tidak bersalah, dan nama baiknya dibersihkan.
Menurut ICW, laporan maupun persidangan Ghufron dan Pahala bagian dari catatan etik yang harus diatensi oleh pansel capim KPK. Penelusuran rekam jejak itu dinilai mudah karena pernah diberitakan.
Tidak hanya soal etik, ICW juga menyoroti latar belakang para calon yang lolos seleksi. Berdasarkan pengamatan ICW dari total 20 orang kandidat calon Komisioner KPK, 45 persen atau sekitar 9 orang di antaranya berasal dari klaster penegak hukum, baik aktif maupun purna tugas.
“Dari situasi ini tentu timbul pertanyaan sebagai berikut: Apakah pansel sedari awal memang mengharapkan KPK diisi oleh para aparat penegak hukum? Bila itu benar, maka ada sejumlah potensi pelanggaran dan kesesatan berpikir pada cara pandang tersebut,” kata Kurnia.
Kurnia lalu membeberkan potensi pelanggaran tersebut. Pertama, pelanggaran terhadap Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 terkait kesamaan setiap orang di mata hukum.
Menurut Kurnia mestinya proses seleksi ini dapat mengikuti perintah UU KPK yang memberikan keleluasaan bagi setiap kalangan, sepanjang memenuhi syarat, untuk bisa mendapatkan kesempatan menjadi Komisioner atau Dewan Pengawas KPK.
Lalu yang kedua, dominasi aparat penegak hukum dalam hasil seleksi kali ini bisa mengundang persepsi di tengah masyarakat terkait adanya dugaan intervensi pihak lain kepada pansel. Intervensi itu bisa dari pihak mana pun, misal eksekutif atau pimpinan aparat penegak hukum tersebut.
“Ketiga, cara pandang semacam itu menggambarkan bahwa Pansel pada dasarnya benar-benar tidak memahami seluk beluk kelembagaan KPK. Sebab, di dalam UU KPK tidak ditemukan satu pun pasal yang mewajibkan kalangan aparat penegak hukum untuk mengisi struktur kepemimpinan KPK,” tutur Kurnia.
Keberadaan aparat penegak hukum di dalam jajaran pimpinan KPK juga bisa membuka ruang konflik kepentingan dan loyalitas ganda. Hal ini bisa terjadi bila yang bersangkutan mengusut kasus di instansi asalnya.
“Bagaimana memastikan independensi komisioner yang berasal dari penegak hukum jika kemudian hari KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya? Hal lain juga, jaminan apa yang bisa diberikan Pansel bahwa calon dari klaster penegak hukum hanya akan tunduk pada perintah UU di tengah maraknya fenomena jiwa korsa di lembaga asalnya?” pungkasnya.