banner 728x250

Jokowi Tiga Periode, Diplot Masuk DPA, Setara Dengan Presiden

Presiden Joko Widodo (Jokowi) Foto: GETTY IMAGES

ABNnews – Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) ditakutkan hanya manuver politik untuk bagi-bagi kekuasaan.

Pasalnya, publik mulai menduga ada tujuan bagi-bagi kekuasaan di balik revisi UU Wantimpres yang pembahasannya dikebut satu hari oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR hingga diputuskan akan dibawa ke paripurna dan menjadi insiatif dari parlemen tersebut.

Nantinya, Wantimpres akan berubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memiliki kedudukan setara dengan Presiden.

Menariknya, tokoh-tokoh politik mulai menyeret nama Joko Widodo masuk sebagai calon anggota DPA. Sehingga memunculkan sentimen negatif Jokowi Tiga Periode melalui kursi DPA.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan dibangkitkannya DPA sebagai lembaga yang sejajar dengan presiden seperti mau kembali ke era Orde Baru. Setelah amandemen 1999-2022, level Wantimpres diubah tidak setinggi lembaga independen lain sebab tugasnya hanya memberi saran.

“Kalau kita mau objektif menganalisisnya dari aspek hukum tata negara, pertanyaannya adalah apa wewenangnya? Apa yang membuat dia harus menjadi komisi independen tersendiri yang harus selevel presiden, DPR, dan lain lain,” kata Bivitri dikutip Tempo pada Rabu, 10 Juli 2024.

Sementara, pengamat politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan, ada kesan bahwa DPA ini justru ingin mengakomodasi kelompok politik yang jauh lebih besar. “Kan itu yang mustinya harus dhindari,” kata Adi.

Apalagi, salah satu perubahannya adalah nomenklatur yang disepakati menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Padahal, lembaga tersebut sudah dihapuskan setelah dilakukan amendemen keempat Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Lalu, tugas dan fungsinya digantikan oleh Wantimpres yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Selain itu, Adi menyebut, wacana menghidupkan kembali DPA adalah kelanjutan dari ide presidential club yang ingin mengakomodasi para mantan presiden, sehingga memberikan kontribusi pemikiran sampai gagasan untuk pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

“Wajar kalau publik melihat sebenarnya belakangan ini perubahan Wantimpres ke DPA ini bagian dari untuk memperbesar koalisi dengan cara merangkum pikiran-pikiran yang dinilai kontributif untuk pemerintahan yang akan datang, tetapi itu tadi kesan bagi-bagi kekuasaan itu harus bisa diminimalisir dan bahkan dihilangkan,” ujar Adi.

DPA Setara Presiden

Selain mengubah nama menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA), revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) juga mengubah kedudukannya.

Pasal 2 dalam draf revisi UU Wantimpres menyebutkan, DPA sejajar dengan lembaga negara lain sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan, ini artinya DPA bakal setara dengan presiden.

“Perubahan kedudukan dewan pertimbangan itu dari semula berada di bawah Presiden, sebagaimana disebutkan dalam UU Wantimpres, menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya,” ujar Yusril dilansir Kompas.com, Selasa (16/7/2024).

“DPA baru ini setara kedudukannya dengan lembaga-lembaga negara yang lain, termasuk Presiden. Meski setara, tetapi semua lembaga itu menjalankan tugas dan wewenang yang berbeda,” tegasnya.

Yusril menjelaskan, di dalam UUD 1945 sebelum amandemen, DPA memang disebutkan sebagai nomenklatur dan diletakkan dalam bab tersendiri, yakni Bab IV dengan judul ‘Dewan Pertimbangan Agung’, yang terdiri atas 2 ayat yang menyebutkan susunan dewan tersebut ditetapkan dengan UU.

Dewan itu, kata dia, berkewajiban untuk memberikan jawaban atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada pemerintah. Maka dari itu, dalam pelajaran hukum tata negara sebelum amandemen UUD 45, DPA digolongkan sebagai lembaga tinggi negara.

“Sementara dalam UUD 45 hasil amandemen Bab IV dengan judul ‘Dewan Pertimbangan Agung’ dinyatakan ‘dihapuskan’. Tetapi Pasal 16 yang mengatur tentang DPA dan berada di bawah bab itu tetap ada, namun diubah sehingga berbunyi ‘Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dengan UU’,” tuturnya.

“Nama dewan pertimbangan yang dibentuk oleh Presiden itu tidak ada nomenklaturnya di dalam UUD 45 hasil amandemen. (Tapi) UU Nomor 19 Tahun 2006 menamakannya ‘Dewan Pertimbangan Presiden’ dan menempatkan lembaga itu di bawah Presiden. Itulah tafsir yang berkembang saat itu,” sambung Yusril.

Maka dari itu, Yusril menekankan, yang membedakan Wantimpres yang ada saat ini dan DPA yang sedang dibahas di DPR hanyalah kedudukannya saja. Dia menyebut dewan yang dibentuk oleh Presiden yang bertugas untuk memberikan nasihat dan pertimbangan dapat disebut sebagai lembaga negara.

“Sebab, tidak ada lembaga lain dalam UUD 45 yang diberikan kewenangan untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden,” tegasnya.

Maka dari itu, Yusril mengatakan, tidak ada persoalan mendasar yang dihadapi mengenai perubahan kedudukan Wantimpres yang semula adalah lembaga yang kedudukannya berada di bawah Presiden, menjadi Dewan Pertimbangan Agung yang kedudukannya sejajar dengan lembaga negara lain.

Menurutnya, penafsiran saat ini lebih mendekati maksud UUD 45 dibandingkan dengan penafsiran tahun 2006 ketika UU Wantimpres dirumuskan oleh para pembentuknya.

“Tafsir tentang kedudukan lembaga-lembaga negara, atau tafsir apapun terkait dengan UUD selalu bersifat dinamis. Segalanya pada akhirnya dapat diterima setelah tafsir itu dituangkan ke dalam norma undang-undang,” imbuh Yusril.***

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *